loader

Harus Terpengaruh Budaya Asing!

 

 

 

Penguatan Kebudayaan Kesenian Jamjaneng di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Berbasis Interelasi Kebudayaan Kawasan Asia Tenggara.

“Tidak ada bangsa yang berdiri sendiri. Semua dipengaruhi bangsa lain yang kemudian membangun peradaban sekarang.”[1]

-Janet De Nefee-

Bagian awal tulisan ini tidak lain ditujukan untuk mendudukan secara jelas posisi penulis yang berpegang pada asumsi bahwa budaya yang dipraktikan pada keseharian baik diwujudkan dalam bentuk praktik sosial ataupun tersirat didimensi batiniah masyarakat Asia Tenggara pada umumnya dan Indonesia khususnya merupakan proses akulturasi, dialog lintas bangsa, kesalingpengaruhan antara satu budaya dengan budaya yang lain seperti digambarkan sejarawan Anthony Reid dalam ungkapan sebagai berikut:

“Keragaman yang dahsyat dalam hal bahasa, budaya, dan agama di Asia Tenggara, sejalan dengan keterbukaan sejarahnya terhadap perdagangan melalui air dari luar kawasan, sepintas lalu tampak menentang upaya-upaya untuk generalisasi. Namun begitu perhatian kita bergeser dari politik dan ‘tradisi-tradisi besar’ keagamaan di kalangan bangsawan  kepada keyakinan-keyakinan rakyat kebanyakan dan praktik-praktik sosial warga biasa di Asia Tenggara, landasan bersama itu menjadi semakin terlihat.”[2]

Berangkat dari asumsi di atas maka mengacu pada referensi umumnya sejarawan dan sebagaimana diajarkan pada materi-materi sejarah di SD, SMP, dan saat ini di SMA, pengaruh-pengaruh “tradisi-tradisi besar” yang dimaksudkan adalah pengaruh yang berasal dari empat peradaban yang silih berganti atau secara bergelombang menerpa kawasan Asia Tenggara secara umum, khususnya Indonesia. Mereka antaralain; peradaban India—yang dikenal dengan gelombang Hinduisme atau Budhisme; kemudian Tiongkok; lalu gelombang Muslim; dan terakhir gelombang peradaban Barat—atau dikenal dengan era kolonialisme.

Empat Peradaban Besar yang Mempengaruhi Kebudayaan Asia Tenggara dan  Daerah di Indonesia

Empat peradaban (India, Tiongkok, Muslim dan Barat) yang secara “bergelombang” menerpa tempat yang saat sekarang kita kenal sebagai  Indonesia ini juga pada waktu yang hampir bersamaan menerpa seluruh kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan pada persamaan geografis dan takdir pengaruh empat peradaban diatas, maka melihat kebudayaan daerah yang ada di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kajian terhadap Asia Tenggara dan gejala-gejala kebudayaan yang membentuk hingga seperti sekarang. Bahkan penulis berkeyakinan kuat, bahwa dengan mendudukkan persoalan Asia Tenggara ditengah pembahasan kebudayaan daerah ini akan dapat memahamkan kesalahpahaman budaya yang selama ini terjadi, misalnya klaim budaya batik, wayang, dan reog yang pernah dipersengketakan antara Malaysia dan Indonesia.[3] Dengan memperluas cakupan kajian kebudayaan di level kawasan Asia Tenggara sangat mungkin kita akan menemukan formula untuk memperkuat bargaining position kebudayaan daerah dimata negara-negara tetangga dan bahkan dunia, terutama berkaitan dengan kebudayaan daerah Kebumen berupa kesenian jamjaneng. Keyakinan ini tentu saja dibuktikan dari data-data yang akan dipaparkan pada bagian berikut.

Peradaban India

Dekan Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, Kishore Mahbubani seorang pakar politik Asia, dimana pernyataannya bisa menjadi acuan untuk melihat peran India dalam kebudayaan Asia Tenggara:

“Jelaslah bahwa pengaruh kebudayaan India merasuk baik di Asia Tenggara daratan maupun Asia Tenggara maritim. Siapapun yang meragukan hal ini harus berkunjung ke monumen agung Angkor Wat di Kamboja dan Borobudur di Jawa.”[4]

Pernyataan Mahbubani di atas sebagiannya mengacu pada penggambaran seorang sejarawan dari Inggris bernama Willam Dalrymple mengenai candi Ta Prohm yang merupakan bagian dari kawasan Angkor. Dalrymple menggambarkan betapa pengaruh seni, sastra, ataupun kebudayaan India tampak  pada kuil-kuil Budhis di Asia Tenggara.[5]

Singkat kata, bangsa India pada masa-masa ekspansinya ke Asia Tenggara—entah untuk perdagangan, misi keagamaan, ataupun pelarian politik dari kolonialisme Inggris—meninggalkan banyak warisan budaya dari arsitektur, sastra, bahasa, hingga ritual-ritual keagamaan. Oleh sebab itu kita akan menemukan banyak persamaan dalam cara pandang teologis, seni dan sastra, serta simbol-simbol lain seperti pakaian dan bahkan kuliner antar negara-negara di Asia Tenggara.

Seni drama yang mengambil kisah mahabarata akan kita dapatkan di Laos[6] dan Indonesia misalnya.[7] Masakan dengan kuah rempah yang kental seperti kari dari India juga terdapat pada masakan Padang, rendang dan berbagai kuliner melayu di Malaysia.[8] Kesemuanya itu menunjukkan betapa berakarnya pengaruh India di kawasan Asia Tenggara dan betapa banyak persamaan kebudayaan daerah antara Indonesia dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dengan menjadikan kebudayaan India sebagai we feeling (rasa kekitaan)[9]. Namun pada saat yang sama juga menjadi titik tengkar, sumber perang klaim atas kebudayaan yang dianggap sama. Meski eskalasi konfliknya tidak mengarah kepada konflik fisik, tapi sangat menentukan di ranah diplomasi dan perdagangan internasional.[10]

Diantara sekian kawasan di Asia Tenggara, Jawa Tengah adalah yang paling besar pengaruhnya dalam tumbuh kembang kebudayaan India. Ini dibuktikan dengan artefak simbolik terbesar yang terinspirasi dari India berupa candi terbesar dunia, Borobudur (Budha) dan Prambanan (Hindu). Kelak corak ini akan kita dapatkan pada kebudayaan di Kabupaten Kebumen khususnya dalam seni musik jamjaneng sebagaimana akan dibahas di artikel ini.

Pengaruh Tiongkok

Menurut Mahbubani dan Jeffery Sng[11] salah satu corak kebudayaan yang tertiongkokkan adalah menganut falsafah politik dalam bentuk pemerintahan tersentralisasi seperti yang ada di Tiongkok. Hal ini dapat juga kita temukan dalam sistem politik sentralisasi yang ada di kerajaan-kerajaan nusantara ataupun pemerintahan presidensial pasca kemerdekaan Indonesia. Sehingga baik birokrasi, kebijakan-kebijakan pelayanan publik diputuskan atau diatur secara sentrifugal, dari pusat ke daerah-daerah bahkan juga bahasa dan jenis seni hiburannya.

Budaya politik sentralisasi dan sentrifugal inilah yang menurut hemat penulis turut mempengaruhi kesenian jamjaneng di Kebumen sebagai sebuah hiburan rakyat berupa seni musik. Sebab sebagian pendapat mengatakan bahwa jamjaneng adalah seni musik yang terpengaruh oleh seni musik Keraton Yogyakarta,[12] sebagai pemerintahan di sebagian daerah Jawa kala itu. Distribusi hiburan dari Keraton adalah bentuk sentralisasi khas Tiongkok.

Pengaruh Muslim

Al-Attas[13] menilai tidak kurang ada lima faktor yang menyebabkan masuknya Islam ke kepulauan Melayu-Indonesia, termasuk Jawa. Yakni (1) perdagangan, (2) perkawinan antara orang Islam dan bukan Islam; mereka inilah yang menyebarkan Islam dan melakukan pengislaman di kalangan masyarakat, (3) kemudahan dan kepentingan politik yang dianggap sebagai suatu motif untuk memeluk agama Islam, (4) penghargaan nilai ideologi Islam, terutama bagi yang memeluknya, dan (5) otoktoni atau keadaan yang dianggap telah ada, sejak purbakala, sebagai kepunyaan atau sifat kebudayaan suatu masyarakat. Otoktoni ini adalah sebuah paralelisme antara kebudayaan yang sudah ada sejak purbakala dengan ilmu tasawuf Islam. Faktor otoktoni inilah yang menjadi penyebab mudahnya penerimaan agama Islam di kalangan masyarakat.

Dr. Fadil Munawwar Guru Besar Ilmu Sastra pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada dalam bukunya[14] mengomentari pendapat Al-Attas ini dengan mengatakan:

“Berdasarkan lima faktor tersebut, pengaruh kesusastraan Arab terhadap Melayu Indonesia dipengaruhi oleh faktor yang kelima, yaitu otoktoni. Hal ini dapat dilihat pada masuknya karya-karya sastra Arab bernuansa sufistik, antara lain Kasidah Burdah, Kasidah Barzanjy, dan Kasidah Diba’iy ke dalam masyarakat Melayu-Indonesia yang saat itu memiliki kebudayaan paralel dengan tasawuf Islam.”

Kesusastraan inilah yang kelak mendominasi lantunan-lantunan ataupun lirik lagu dalam kesenian jamjaneng di awal kemunculannya. Terutama yang dipadu dengan sholawat Jawa. Ini juga dipengaruhi oleh Islam yang masuk ke Indonesia dan Jawa pada mula-mula adalah Islam yang mengusung term ahlussunnah wal jama’ah yang menurut Dr. Said Aqil Siradj[15] mencapai taraf syuhud ijtima’i dan syuhud tsaqafi (tonggak dan penyangga masyarakat dan budaya). Dan ini membawakan keseimbangan antara hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama manusia. Oleh karena itu, Islam diawal perkembangannya berdialog kepada masyarkat dan juga Tuhannya dengan berbagai sarana budaya termasuk kesenian musik, seperti jamjaneng.

Pengaruh Barat

Meski diakui pengaruh infrastruktur sistem dan pembangunan arsitektur modern yang diperkenalkan Barat telah mengubah wajah Asia Tenggara maupun Indonesia dengan menjadikannya lebih baik seperti yang kita rasakan sejauh ini. Namun tentu saja hal tersebut tidak lantas dapat menghapus “dosa-dosa” yang telah diperbuat bangsa-bangsa Barat atas apa yang menimpa Asia Tenggara, dalam kolonialisme yang mengaburkan batasan-batasan wilayah dan juga budaya.

Redefinisi teritorial oleh imperalis Barat membawa Asia Tenggara ke dalam bentuk negara-negara yang tidak jelas secara geografis, aksi saling klaim wilayah teritorial pun tak terelakkan pasca negara-negara itu memproklamirkan kemerdekaannya.

Anthony Reid misalnya mencatat demikian:

“Kegagalan  upaya-upaya bangsa-bangsa Asia Tenggara untuk mengubah batas-batas negara atas nama klaim sejarah, kebudayaan, atau ideologi menggambarkan kuatnya pengaruh alkemi (imperial). Aneksasi Thailand semasa perang dunia atas bagian barat Kamboja, sebagian wilayah timur Burma, dan bagian utara Malaya (1941-1945), aneksasi Indonesia atas Timor Timur (Portugis) pada tahun 1975-1999…”[16]

Pengaburan teritorial ini pula yang mempengaruhi semangat gayang Malaysia yang diserukan oleh Presiden Soekarno (1963-1966)[17] atau klaim-klaim budaya seperti batik atau reog oleh kedua negara tersebut. Karena memang bisa jadi, Indonesia dan Malaysia bukanlah dua negara yang berbeda andai imperalis Barat tidak membaginya demikian. Karena itu kesamaan budaya antar kedua negara tersebut adalah wajar.

Adapun pengaruh Barat yang sangat bersinggungan dengan Jawa Tengah dan Kebumen khususnya, yang bersifat kosntruktif, ambisius sekaligus menyiksa adalah adanya jalur 1.000 km yang sangat terkenal sebagai jalan Daendels. Karya dari seorang yang diberi gelar oleh Napoleon Bonaparte “Grand aigle de la legion d’honneur” atau Bintang Jasa Rajawali Agung, seorang petinggi militer Perancis[18], Marsekal Herman Willem Daendels (1762-1818)[19] menandai kesalingpengaruhan antara Jawa, Kebumen, dan Perancis, termasuk dalam hal bermusik seperti jamjaneng. Singgungan antara musik Perancis dengan musik Jawa seperti jamjaneng dapat kita saksikan misalnya dalam karya Claude Debussy, seorang komponis muda berbakat dari Prancis. Dimana pada tahun 1889 banyak karya Debussy disebut-sebut terilhami dari musik gamelan Jawa. Hal ini akan kita singgung pada bagian selanjutnya.

Jamjaneng, Sebuah Pengantar

Setelah kita mengulas pengaruh-pengaruh budaya yang secara begelombang (besar) menerpa Asia Tenggara, Indonesia dan daerah-daerahnya, khususnya Kebumen. Maka kita akan melihat sejauh mana empat budaya besar tersebut membentuk, memproduksi budaya baru berupa seni musik tradisional bernama jamjaneng. Bagaimana “budaya asing” turut mengkonstruksi budaya daerah dan memperkuat eksistensinya. Lalu diakhir artikel ini akan dijelaskan bagaimana sikap kita seharusnya dalam menghadapi gelombang “budaya asing” abad ini.

Sebelum mendiskusikan lebih jauh, bagian ini hendak mencoba memperkenalkan alat musik yang digunakan pada kesenian jamjaneng. Mereka antara lain: (1) kendang, (2) terbang, (3) calung gambang, dan (4) saron. Empat alat musik ini adalah komposisi minimal yang perlu ada di kesenian jamjaneng. Atau paling tidak, itulah alat yang sejauh ini digunakan untuk manggung oleh aktivis kesenian jamjaneng.[20]

Tiga dari empat alat musik tersebut—yakni kendang, calung gambang, dan saron—adalah alat musik yang akrab disebut gamelan yang merupakan produk budaya Hindu-Budha India, ini didasarkan pada fakta bahwa alat-alat musik tersebut terpahat di deretan relief candi Borobudur. Sementara arkeolog berpendapat bahwa dalam mitologi Jawa, gamelan diciptakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang gunung Lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan.

Sebagai perbandingan, model musik gamelan bukan satu-satunya di Asia Tenggara, model dan narasi yang senada juga akan kita temukan di alat musik Thailand[21] bernama kruang don tri Thai. Dimana negara ini juga terindianisasi dalam sejarah perkembangannya, budaya politik, sosial (tata krama) dan budaya kesenian maupun hiburannya. Aspek supranatural ataupun spiritual juga tidak jauh berbeda dengan Jawa Kuno.[22]

Namun banyak yang mengatakan, alunan ataupun instrumen gamelan Jawa memiliki perbedaan dengan India. Yakni terutama dalam tempo yang dibuat begitu pelan atau selalu mematuhi alur panjang.[23] Hal ini senada dengan apa yang diungkap oleh Claude Debussy. Pada pengamatannya terhadap permainan gamelan Jawa,[24] Debussy tidak hanya terpesona oleh kualitas suara, namun juga oleh kompleksitas komposisi gamelan gending Jawa yang selalu mematuhi alur panjang. Dia bahkan mengatakan bahwa Palestrina atau seorang musisi hebat yang diminta memainkan piano partitur Lizt akan dapat melakukannya dengan sangat mudah. Bahkan ia berkomentar demikian: “Jika Anda mendengar alunan gending Jawa dengan telinga Eropa yang normal, Anda harus mengakui bahwa musik kita (Eropa) tak lebih daripada sekedar bunyi-bunyi dasar sirkus keliling.”[25]

Adapun alat musik terbang, sementara pemain dan masyarakat tempat alat musik terbang biasa digunakan, meyakini bahwa terbang berasal dari Timur Tengah. Sementara menurut Dr. Fadlil Munawwar,[26] terbang adalah sebuah capaian dari masyarakat Arab, yang ini mengamini sangkaan masyarakat Indonesia tentang terbang pada umumnya. Terbang di tempat asalnya, digunakan untuk mengiringi nasyid, sedangkan gambaran ideal nasyid adalah lagu serius, kontempelatif, dan anggun. Oleh karena itu, bila ada sedikit saja campuran dengan unsur-unsur di luar dirinya (musik sekuler) akan segera menuai kritik. Itu artinya, alat musik yang digunakan dalam mengiringi nasyid dipercaya sebagai “alat musik yang diridhai Tuhan” tidak seperti alat musik Barat yang dianggap digunakan untuk komersial dan kapitalistik. Terbang pada masyarakat Arab dianggap sebagai alat musik mistik yang penuh nilai spiritual dalam awal perkembangannya.

Dari paparan alat-alat musik tersebut, dapat ditarik satu simpul bahwa alat musik yang digunakan pada kesenian jamjaneng (kendang, terbang, calung gambang, dan saron) bukanlah alat yang sebelumnya dimaksudkan untuk hiburan—dalam arti berpestapora. Alat-alat tersebut lebih kepada memberikan pesan teologis oleh suatu aliran keyakinan, yakni dalam hal ini Hindu-Budha dari India dan Islam dari Arab. Maka teranglah bahwa kebudayaan asing inilah yang turut mengkonstruksi sistem bermain jamjaneng. Sehingga menghasilkan satu genre musik yang syahdu sekaligus memiliki aura sakral.

Hal ini ditambah dengan sejumlah temuan[27] bahwa lantunan lagu yang dimainkan dalam kesenian jamjaneng adalah berupa perpaduan musik Jawa dan syi’iran (lantunan syair Arab). Dalam temuan yang sama, kandungan lagu jamjaneng dapat dibagi ke dalam tiga bentuk, yakni lagu pembuka (seperti assalamu’alaik, assalamu’alaik…dst), lagu akidah, dan lagu tasawuf. Ini menandakan bahwa jamjaneng merupakan kesenian yang pada awalnya dimaksudkan untuk menyampaiakan pesan-pesan spiritual kepada pemeluk agama Islam di Jawa, spesifiknya Kebumen. Hingga pada perkembangannya menjadi satu kelompok kesenian tradisional yang dapat dilihat sebagai hiburan dalam kategori harus dilestarikan.

Kendati aktivis kesenian dan peneliti jamjaneng sepakat, bahwa kesenian musik ini diproduksi oleh seorang ahli agama daerah Kebumen, namun tentang siapa dan dimana asal sang pencipta jamjaneng tersebut masih debatable, berbagai spekulasi banyak beredar di masyarakat. Oleh karena itu, dalam hal ini kami memilih untuk tidak mengambil sikap untuk condong kepada pendapat yang mana. Namun diantara yang cukup populer adalah tentang sosok Kiyai Jamjani, Syekh Zamjani dari Kutowinangun, Kebumen dan  Kiyai Abduljalil dari Tanah Sari, Kebumen.

Sikap untuk tidak menentukan siapa pendiri jamjaneng ini didasarkan pada alasan, supaya artikel ini tidak terjebak pada perdebatan sejarah. Sebab tujuan dari artikel ini sebatas pada pemaparan pengaruh kebudayaan luar terhadap kebudayaan daerah. Singgungan-singgungan yang berbasis konstruksi sosial menjadi fokus dari artikel ini. Adapun sosok pendiri jamjaneng cukup kompleks dan perlu diskursus tersendiri, terutama pada periodisasi dan irisannya dengan pemerintahan besar di tanah Jawa kala itu.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kebudayaan yang selama ini kita kenal sebagai kebudayaan daerah bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan muncul secara tiba-tiba. Semua dibangun dalam rentang waktu yang lama dan dari beragam irisan yang kompleks. Kesuburan tanah Jawa secara geografis ternyata bukan hanya cocok untuk menumbuhkan fauna berbagai jenis dari berbagai tempat,[28] tetapi juga budaya dari berbagai negara. Semua ini hanya bisa tercapai jika kita bersikap terbuka, open minded, dan menyambut hangat keanekaragaman. Bukan bersikap defensif, protektif, apalagi closed minded.

Dari kesalingpengaruhan dalam hal positif tersebut, kita patut berterimakasih, mengakui, bahkan mengapresiasi budaya-budaya dari luar yang turut membangun kesenian maupun nilai-nilai luhur dalam masyarakat. Bukannya malah apriori, apalagi underestimate sambil bersikap arogan akan keistimewaan kebudayaan kita begitu rupa. Karena sikap-sikap apriori seperti itu justru yang menurut kami akan membawa kemandegan, stagnasi budaya, menutup proses dialog dan menghambat dinamika perkembangan kebudayaan.

Jika saja ahli agama Islam tidak terbuka pada kesenian yang berasal dari Hindu-Budha seperti gamelan, tentu tidak akan tercipta kesenian seperti jamjaneng yang merupakan ensemble percussion yang membumikan sholawat nabi. Perbedaan yang ada memang seharusnya tidak lantas dipertentangkan atau saling curiga, tapi dikelola sedemikian rupa sehingga dapat dipadupadankan secara harmoni saling melengkapi satu sama lain. Bahu membahu untuk membangun peradaban yang humanis.

Artikel ini akan diakhiri dengan narasi berupa rekomendasi, supaya dilema antara kehawatiran terhadap hilangnya otentisitas budaya lokal dengan kebutuhan eksistensi ditengah gelombang baru kebudayaan[29] dapat dijembatani. Karena ini kebetulan juga menjadi fokus OSIS SMA Islam Al-Kahfi Kebumen. Dalam dua periode belakangan program-program Kepengurusan OSIS SMA Al-Kahfi difokuskan untuk mendiskusikan tentang pembangunan, penjagaan, dan pemeliharaan budaya-budaya lokal menyongsong era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Dalam menghadapi tantangan baru ini, gagasan intercultural pun sempat mengemuka sebagai alternatif—alih-alih menjadi term utama. Ini membawa konsekuensi logis, untuk sifat bebas aktif kita dalam merespon dialog dengan pihak foreign, dan sekaligus menentukan bahasa yang tepat untuk memahamkan pegiat kebudayaan di tingkat kampung atau desa yang memiliki paparan informasi lebih rendah daripada kota dan apalagi yang metropolitan. Intercultural ini diharapkan dapat membangun komunikasi positif, meretas prasangka antar pemilik budaya, menyerap kebaikan dari budaya lain, sekaligus sharing kebaikan dari budaya lokal kita sembari memanfaatkannya sebagai media promosi dan memberitahukan kepada masyarakat internasional tentang kepemilikian kebudayaan yang ada pada kita atau identifikasi antara ciri kebudayaan kita dengan yang sejenis—apa persamaan dan perbedaannya.

Gagasan intercultural ini bukan sesuatu yang abstrak. Dalam mencapai tujuan sebagaimana dimaksud, OSIS mencanangkan 2T 2A—Talk & Teks; Act & Artifact. Disini kita tidak akan merinci maksud dari 2T 2A tersebut. Namun secara garis besar kita harus bergerak ke berbagai ruang komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesan kebudayaan kita keluar, ataupun menyampaikan pesan-pesan kebudayaan luar yang patut diserap ke dalam (domestik). Dengan demikian kebudayaan interlokal dapat tercipta dan saling melengkapi untuk membangun peradaban yang jauh lebih besar dari sekarang.

Referensi

Anthony Reid, Imperial Alchemy: Nationalism and Political Identity in Southeast Asia, Cambridge University Press 2010.

Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce1450-1680, Yale University PressNew Haven 1998.

Bernard Dorleans, Les Francais et l’Indonesie du XVIe au Xxe siecle, 2001. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai “Orang Indonesia dan Orang Perancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX”, KPG, Jakarta 2016.

Brian Harrison, South-East Asiaa Short History, Macmillan, London 1963.

Fadil Munawwar, Perkembangan Sastra Arab dan Teori Sastra Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2011.

Kishore Mahbubani & Jeffery Sng, ASEAN Miracle, A Catalyst for Peace NUS Press, Singapore 2017.

Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Penerbit Mizan, Bandung 1990.

Said Aqil Siroj, Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara: Menuju Masyarakat Mutamaddin, LTN NU, Jakarta 2014.

Syamsul Arifin, Islam Budaya Lokal, Tradisi Jamjaneng di Kebumen, Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran (STAISPA), Yogyakarta, Februari 2014

Tan Sri Abdullah Ahmad, Conversations with Tunku Abdul Rahman, Marshal Cavendish, Singapura 2016.

 

Surat Kabar Offline

Surat Kabar Harian Kompas 11/8/2017.

 

Interview

Wawancara dengan Hisyam dkk, pemain gamelan Magelang, pada 1 April 2018.

Wawancara dengan Toha pada 29 Maret 2018.

Website

http://journal.student.uny.ac.id/jurnal/artikel/13397/30/1435

http://saharpova.blogspot.co.id/2012/05/asean-community-we-feeling

http://surabaya.tribunnews.com/2016/10/28

http://www.dutaislam.com/2017/04/nama-nama-pondok-pesantren-tertua-di-indonesia-dan-pendirinya.html

http://www.likuranpaseduluran.com/2017/08/sejarah-jamjaneng-kebumen-1

http://www.nybooks.com/articles/2015/05/21/great-and-beautiful-lost-kngdoms

http://www.tribunnews.com/nasional/2015/02/21/ini-10-warisan-budaya-indonesia-yang-diklaim-malaysia

https://food.detik.com/info-kuliner/d-2990896/india-bawa-rempah-dan-santan-dalam-hidangan-jawa-aceh-dan-betawi

https://www.femina.co.id/food-trend/xx-fakta-kari-perjalanan-penuh-aroma-ke-seluruh-dunia

https://www.liputan6.com/citizen6/read/2156339/8-warisan-budaya-indonesia-yang-pernah-diklaim-malaysia

http://www.nybooks.com/articles/2015/05/21/great-and-beautiful-lost-kngdoms

 

[1] Janet De Nefee, dalam keterangan pers di Jakarta (10/8/2017) pada rangkaian acara Ubud Writers, seperti dilansir Surat Kabar Kompas.

[2] Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce1450-1680Yale University Press , New Haven 1998.

[3] https://www.liputan6.com/citizen6/read/2156339/8-warisan-budaya-indonesia-yang-pernah-diklaim-malaysia

[4] Kishore Mahbubani & Jeffery Sng, ASEAN Miracle, A Catalyst for Peace, NUS Press, Singapore 2017.

[5] William Dalrymple, “The Great & Beautiful Lost Kingdoms”, New York Review of Books, 21 Mei 2015, http://www.nybooks.com/articles/2015/05/21/great-and-beautiful-lost-kngdoms/diakses tanggal 12 Oktober 2017.

[6] Seorang penguasa abad kelima di Laos mengambil nama India Devanika dan gelar Maharaj Adhiraja (Raja atas Segala Raja) dalam upacara ketika ia memasang sebuah lingga Siwa, sang dewa Hindu.

[7] Dalrymple, “The Great & Beautiful Lost Kingdom”.

[8] Menurut Janet De Nefee rempah kental yang ada pada rendang adalah akibat pengaruh India, tapi penggunaan daging sapi pada rendang merupakan gagasan Indonesia yang di sebagian besar tempat mengkonsumsi daging sapi, tidak seperti di India yang cenderung menghindari mengkonsumsi daging sapi sebagai hewan keramat. Hal ini diintepretasikan dari pernyataan Janet De Nefee pada saat kunjungannya ke Indonesia tahun 2017 lalu.

[9] We feeling adalah perasaan kesatuan antara individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lain di luar dirinya, kesatuan itu diakibatkan oleh sense of belonging kesamaan dalam aspek yang beragam, baik geografis maupun budaya. Lihat misalnya http://saharpova.blogspot.co.id/2012/05/asean-community-we-feeling

[10] Seperti harga batik Malaysia yang sering ditemukan lebih tinggi di pasaran internasional daripada batik dari Indonesia. Pada sebagian foreign, didapatkan informasi bahwa mereka yang membeli batik lebih terpapar informasi, bahwa batik berasal atau asli produk kebudayaan dari Malaysia bukan Indonesia.

[11] Kishore Mahbubani & Jeffery Sng, ASEAN Miracle, A Catalyst for Peace NUS Press, Singapore 2017.

[12] http://www.likuranpaseduluran.com/2017/08/sejarah-jamjaneng-kebumen-1

[13] Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Penerbit Mizan, Bandung 1990.

[14] Fadil Munawwar, Perkembangan Sastra Arab dan Teori Sastra Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2011.

[15] Said Aqil Siroj, Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara: Menuju Masyarakat Mutamaddin, LTN NU, Jakarta 2014.

[16] Anthony Reid, Imperial Alchemy: Nationalism and Political Identity in Southeast Asia, Cambridge University Press, Cambridge 2010.

[17] Lihat misalnya catatan PM Malaysia ketika itu Tunku Abdul Rahman dalam Tan Sri Abdullah Ahmad, Conversations with Tunku Abdul Rahman, Marshal Cavendish, Singapura 2016.

[18] Uraian terkait Prancis dan Indonesia mengambil dari karya Bernard Dorleans, Les Francais et l’Indonesie du XVIe au Xxe siecle, 2001. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai “Orang Indonesia dan Orang Perancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX”, KPG, Jakarta 2016.

[19] Pada Juli 1810, Napoleon menurunkan saudaranya Louis, Raja Belanda, dan menggabungkan Republik Batavia ke kaisaran Prancis. Begitu peristiwa itu diketahui, pada bulan Februari 1811, enam bulan setelah proklamasi oleh Napoleon, Gubernur Jendral Daendels yang tiba di Jawa pada Januari 1808 memutuskan untuk segera menaikkan bendera Prancis di gedung-gedung pemerintah di Batavia.

[20] Wawancara dengan Toha pada 29 Maret 2018.

[21] http://surabaya.tribunnews.com/2016/10/28

[22] Bagaimana kesamaan-kesamaan budaya ini kami himpun dari hasil diskusi dengan teman-teman dari Pattani saat berkunjung ke Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen, pada Mei 2017.

[23] Wawancara dengan Hisyam dkk, pemain gamelan Magelang, pada 1 April 2018.

[24] Bernard Dorleans, Les Francais et l’Indonesie du XVIe au Xxe siecle.

[25] Karya Debussy yang disinyalir terinspirasi dari gamelan Jawa antara lain: La fille aux cheveux de lin (gadis berambut linen), Feuillis mortes (Daun-daun kering), La mer (lautan), Cloches a travers les feuilles (genta disela-sela dedaunan). Atau yang bertemakan feminis seperti prelude piano berjudul Ondine (Dewi air), Chansons de Bilitis (kidung dari Bilitis), Le tombeau des naiades (makam dewi-dewi naiade).

Keterangan ini diperdalam dengan diskusi bersama Astird Chesborn dari Prancis dalam Al-Kahfi Intercultural Festival di Kebumen, Jawa Tengah.

[26] Fadlil Munawwar, Perkembangan Sastra Arab dan Teori Sastra Islam.

[27] Lihat artikel yang ditulis oleh Syamsul Arifin, Islam Budaya Lokal, Tradisi Jamjaneng di Kebumen, Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran (STAISPA), Yogyakarta, Februari 2014.

[28] Lihat misalnya fauna semacam bunga bangkai atau bunga raflesia arnoldi.

[29] Lihat misalnya gelombang K-Pop dari Korea Selatan, sekaligus drama-dramanya. Holly dan Bolly wood yang secara produktif membangun industri budaya raksasa.

SMKAlkahfiSML


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *